Oleh Ruth K.
Wangkai (aktivis PUKKAT)
BERANJAK dari
Zero Point massa aksi dalam rangka Hari Perempuan Internasional (HPI) bergerak ke Taman Kesatuan Bangsa (TKB). Taman ini yang berada di seputaran pertokoan
lama kota Manado diresmikan tahun 1987, ketika daerah ini masih
menjadi pusat perbelanjaan dan jantung perekonomian SULUT.
Tapi, seiring dengan perubahan politik dan kebijakan otonomi
daerah, berdampak pula pada kebijakan pengembangan pusat ekonomi baru yakni di
kawasan Boulevard. Tempat ini tak lagi seramai tempo dulu. Walau begitu, TKB
tetap menjadi ikon (satu-satunya?) taman kota, di mana berdiri monumen Dotu
Lolong Lasut, yang konon kabarnya dialah perintis kota ini. Monumenya yang berada di tengah taman, tampil
dengan gambaran seorang
pahlawan dengan pedang di
sarung pinggangnya. Apakah gambaran ini mau memberi pesan bahwa Manado ini adalah hasil invansi atau rebutan suku-suku
tertentu, atau memang dia sudah ada sejak dulu sebagai kota merdeka?
Beberapa tahun lalu pemerintah
melakukan pemugaran, memperindah taman ini, dan membangun teater terbuka untuk ekspresi seni dan budaya yang beragam penanda bahwa Manado
adalah kota yang multikultural. Sore hari banyak yang duduk santai bersama
teman atau keluarga. Hanya saja, walau sudah dipugar dan dihias dengan maksud
memperbaiki citra tempat "esek-esek", toch sampai hari ini tempat ini masih lekat dengan stigma
lokasi pelacuran.
Pilihan ke TKB tentu lebih mempertimbangkan fasilitasnya dan
juga keramaian rute angkot ke arah Manado
Timur. Tapi mungkin sadar atau tidak, tak kebetulan juga menentukan lokasi ini
yang masih menjadi "hunian" para pekerja seks di malam hari - menjadi
tempat utk berefleksi, menyentuh kepekaan, dan mengolah rasa - menyatakan kepedulian
dan empati kepada perempuan-perempuan korban stigma dan diskriminasi, korban
kekerasan, dan korban ketidakadilan oleh sistem adat dan budaya, oleh kebijakan
negara, dan juga oleh hukum agama.
Puisi yang
dibacakan oleh Coco, berisi jeritan hati mewakili perempuan-perempuan korban:
perempuan pelacur, perempuan lesbian, dan perempuan tanpa vagina - menyentuh
nurani kita. Kelompok ini termasuk paling rentan mengalami kekerasan berlapis,
mulai dari keluarga sendiri, lingkungan sosial, dan juga negara.
Mereka terhempas oleh struktur masyarakat patriarki yang heteronormatif, yang cenderung menghakimi bahkan mengekslusi
ketimbang berempati dan berjuang bagi pemenuhan hak-hak mereka.
HPI adalah momen merayakan capaian-capaian
dan keberhasilan perempuan-perempuan hebat, mandiri, dan sukses. Tapi HPI juga
adalah kesempatan utk memperkuat komitmen kemanusiaan dan membangun gerakan
bersama: pelibatan laki-laki, rangkul komunitas minoritas SOGIESC, organisasi
lintas iman serta media - bagi kerja-kerja advokasi mewujudkan dunia yang ramah
dan bersahabat bagi semua. Sembari itu, negara perlu diingatkan terus akan
kewajiban pemenuhan HAM perempuan serta akses keadilan bagi korban.
Tema HPI tahun ini sangat relevan bahwa SETIAP ORANG SETARA.
DUNIA YANG SETARA ADALAH DUNIA YANG MEMBERDAYAKAN.(*)
0 komentar:
Posting Komentar