Pdt. Ruth Ketsia Wangkai, M. Th (Aktivis PUKKAT, Koordinator Gerakan Perempuan Sulut) menegaskan bahwa pada bulan lalu ada beberapa
kasus kekerasan seksual yang terjadi di Sulawesi Utara. Tiga kasus kekerasan
seksual itu terjadi pada anak dan satu terjadi pada seorang ibu yang lanjut
usia. Dua kasus kekerasan seksual itu terjadi di kota Tomohon. Korbannya adalah
anak-anak perempuan di bawah umur. Satu kasus itu pelakunya adalah paman sendiri.
Kasus-kasus kekerasan ini mengalami peningkatan di masa
pandemi.
Dari berbagai kasus ini kita bisa mengkaji apa yang menjadi akar masalahnya. Akar masalah dari kasus-kasus kekerasan tersebut adalah Ideologi patriarkhi. Ideologi patriarkhi ini melahirkan relasi kuasa yang timpang. Relasi kuasa yang timpang itu mengakibatkan kekerasan seksual, kejahatan kemanusiaan dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya. Jadi itu bukan sekedar pelanggaran moral saja atau asusila. Kalau kita sekedar mengatakan bahwa kekerasan seksual itu hanya tindakan asusila itu terlalu simplisistik. Jika kita mengatakan bahwa kekerasan seksual itu adalah kejahatan kemanusiaan, maka pelakunya bisa dijerat oleh hukum Negara. Karena Negara memiliki kewajiban untuk melindungi perempuan dari beragam bentuk kekerasan.
Salah satu instrumen internasional yang sudah diadopsi oleh pemerintah kita adalah Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), yakni sebuah konvensi PBB tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan. Salah satu turunannya itu selain undang-undang PKRT dan trafficking, tetapi juga RUU penghapusan Kekerasan seksual.
Karena itu kita sebagai gerakan masyarakat sipil mendesak DPR RI membahas dan mengesahkan RUU ini menjadi Undang-undang atau payung hukum, mulai dari pencegahan, penanganan, perlindungan dan rehabilitasi korban, tetapi juga penindakan pelaku sebagai efek jerah.
0 komentar:
Posting Komentar