I. Latar Belakang
Harapan akan keadilan sosial semakin membuncah di tengah eksploitasi, ketidakberdayaan, marginalisasi, imperialisme budaya, dan kekerasan berbasis gender dan seksualitas yang terus mewajah. Banyak pihak coba menganalisis sebab ketimpangan mengapa keadilan sulit tercapai. Beragam teori lahir. Namun sebagiannya justru dikritik karena gagal menempatkan perbedaan konteks, situasi, identitas, dan kompleksitas setiap kasus sebagaimana adanya. Semisal hal “perempuan”, segelintir teori terlanjur merampatkan masalah perempuan dalam kebakuan dengan hanya menempelkan bahkan menolak ketubuhan, meminggirkan pengalaman dan pandangan perempuan. Mereka gagal memetakan eksistensi perempuan sebagai individu yang memiliki karakter, pengalaman dan kebutuhan spesifik dan tidak mampu membongkar relasi kuasa.
Para pejuang keadilan feminis pun melantamkan bahwa untuk mencapai keadilan yang konkrit salah satunya dengan menolak “teori ideal” yang mengasumsikan setiap kondisi sama. Wacana keadilan mainstream (baca: male-stream) kemudian dikritik, antara lain dengan mempermasalahkan ketidakadilan sistematis dan struktural, karena keadilan sosial bukan hanya soal redistribusi sumber daya tapi bagaimana memahami dan mengakui ketidakadilan struktural.
Perempuan Minahasa sebagai makhluk biologis sekaligus sosial memiliki karakter yang membedakan dirinya dengan perempuan tempat lain. Dia lahir dan dibesarkan dalam tatanan nilai sosio-kultural yang di satu sisi mewariskan nilai diri sebagai individu egaliter dengan Tou Minahasa lainnya, namun tidak bisa disangkal bahwa dia juga hidup dalam kerentanan-kerentanan konstruksi sosial bias dan diskriminatif. Masyarakat sering menyeret perbedaan karakteristik biologis perempuan menjadi seperangkat tuntutan sosial, tentang kepantasan dalam berperilaku, dan pada gilirannya berdampak pada akses terhadap sumber daya dan kuasa. Sehingga salah satu jalan mengupayakan keadilan konkrit adalah dengan membongkar penindasan dan dominasi, dan merestrukturisasi dinamika kekuasaan, termasuk mendokumentasi pengalaman, pandangan dan kebutuhan perempuan Minahasa secara jujur dan apa adanya.
Buku ini diharapkan bisa mendokumentasi berbagai pemikiran-pemikiran pasca kolonial tentang bagaimana perempuan Minahasa memandang dirinya, mengungkapkan pengalaman-pengalaman hidupnya, mempresentasikan pemikiran-pemikirannya, mendefinisikan kebutuhan-kebutuhannya termasuk menyingkap harapan-harapannya. Buku ini juga diharapkan bisa bercerita tentang bagaimana perempuan Minahasa dipandang dalam eksistensinya sebagai individu dan dalam relasi-relasi komunal dalam komunitas yang dihidupinya, baik dari aspek historis, kultural, sosial maupun politik. Selain karena masih terbatasnya buku-buku berkualitas yang membahas tentang tema “Perempuan Minahasa Pascakolonial”, penyusunan buku ini penting sebagai salah satu upaya dari rangkaian panjang perjuangan mewujudkan keadilan humanis, dimana setiap individu -apapun karakteristik seksual dan gendernya- berhak atas keadilan, sehingga keadilan sosial bukan cuma sekedar utopia.
II. Tujuan
Penulisan buku ini bertujuan untuk:
1. Mendokumentasikan berbagai pemikiran tentang perempuan Minahasa pascakolonial.
2. Menghasilkan sebuah media edukasi tentang nilai-nilai keadilan dan kesetaraan untuk perdamaian dan transformasi.
III. Penulis
Anggota Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (PUKKAT) dan jaringan.
IV. Bentuk Kegiatan
Bentuk kegiatan berupa penyusunan buku yang berisi kumpulan tulisan dengan
tema “Perempuan Minahasa Pascakolonial”.
V. Ketentuan Penulisan
1. Tulisan disajikan dalam bentuk karya ilmiah populer
2. Panjang tulisan 5000-7000 kata
3. Sitasi menggunakan endnote gaya Turabian.
VI. Penerbit
Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur
0 komentar:
Posting Komentar