Istilah "tua" dalam judul ini dipakai terutama untuk menunjuk pada fase kehadiran agama ini, jauh sebelum agama-agama pendatang bercokol di tanah Minahasa. Ia telah ada bersamaan dgn kehadiran nenek moyang kita, tou Minahasa - yang pada merekalah kita, para cicit-buyut, terhubung secara biologis sepanjang masa. Sekalipun telah terkonversi ke agama apa pun, ikatan ini tak akan lekang oleh waktu. Sistem kepercayaan boleh beda, tetapi keterpautan dengan leluhur melebur dalam darah daging kita sebagai sesama saudari/a, sembari terpatri dalam memori kolektif dari generasi ke generasi selanjutnya.
Sebagai sebuah sistem kepercayaan, baik nilai maupun praktek, agama tua Minahasa tetap eksis sampai hari ini. Fenomena ritual masih tetap dijalankan, kendati katanya sudah memeluk agama Kristen. Jika mau jujur, terbuka dan kritis, tak hanya nilai-nilai kultural, tapi ada juga unsur-unsur tertentu dari "kepercayaan lama" yang masih terbawa terus dan terintermalisasi ke dalam praktek hidup orang Kristen hari ini.
Sebagai sebuah diskursus, meminjam istilah lain yakni agama lokal, tak hanya menjadi perhatian para pemeluknya, tetapi juga diperbincangkan di dunia akademis (kampus), termasuk di lembaga pendidikan teologi. Saya sendiri mengenal agama tua Minahasa justru saat studi di STT (sekarang bernama STFT) Jakarta. Nomenklatur yang dipakai sebagai nama mata kuliah ini yakni Agama Suku. Sejak itulah saya, yang nyaris tercabut dari akar budaya leluhur, mulai tertarik mempelajarinya. Ketika menjadi dosen di UKIT, saya turut mengampu mata kuliah ini sebagai mata kuliah wajib, selain mata kuliah agama Hindu, Buddha, juga Islam (major interest). Mengapa mata kuliah ini wajib diajarkan dan dipelajari di lembaga pendidikan teologi? Alasannya adalah konteks berteologi di Indonesia, yang tak dapat dilepaskan dari pluralitas agama pun etnis. Bahkan dalam konteks yang lebih luas lagi yakni Asia, seperti dikatakan oleh Aloysius Pieris, adalah rahim dari banyak agama.
Salah satu studi untuk mempelajari agama-agama termasuk agama suku adalah Fenomenologi Agama. Studi ini mencoba mendekati agama-agama sebagaimana adanya, yaitu sebagaimana yang diajarkan oleh agama-agama itu sendiri. Pendekatan ini tentu berbeda sekali dari pendekatan sebelumnya, yang dipakai di sekolah-sekolah teologi, yakni pendekatan yang mempertentangkan ajaran atau kepercayaan agama-agama lain dengan iman Kristen. Buku-buku yang menjadi sumber rujukan pendekatan ini di antaranya karangan Honieg "Ilmu Agama," yang dikenal dengan metode "elenktis"nya & karangan Harun Hadiwijono "Religi Suku Murba di Indonesia." Tentu studi fenomenologi agama dan mata kuliah agama suku, serta bahan ajar terkait lainnya, tak sekedar wacana belaka, apalagi hanya untuk memenuhi tuntutan SKS, tetapi, dan ini utamanya, adalah untuk terampil dalam kerja dan praksis berteologi dalam konteks Indonesia yang majemuk. Kemajemukan diterima sebagai realitas obyektif dan sosiologis bangsa kita.
Akan tetapi, tak dapat disangkal, fakta memperlihatkan secara kasat mata bahwa masih terjadi diskriminasi terhadap kelompok penghayat kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Agama-agama lokal nyatanya tersubordinasi di bawah hegemoni agama-agama mainstreaming. Padahal secara konstitusional agama dan kepercayaan apa pun semuanya dilindungi oleh negara dan sama di hadapan hukum. Tak ada istilah mayoritas-minoritas. Demikian pun eksistensi para penghayat, malah semakin dikuatkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 2017 bahwa "negara harus menjamin setiap penghayat kepercayaan dapat mengisi kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK)." Adanya jaminan konstitusi dan keputusan MK tersebut menegaskan bahwa negara wajib memberi ruang dan akses yang sama kepada komunitas penghayat untuk dapat mengeksresikan keyakinannya, tanpa ada tekanan dari siapa pun dan atau dari kelompok agama mana pun. Salam nusantara! Salam keragaman! (RKW_150722)
0 komentar:
Posting Komentar