Malam ini, Tomohon hangat. Angin di kaki Lokon berdamai dalam bincang di vorrest kantor Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (Pukkat), Kakaskasen. Suara saudara-saudara dari seberang, terangkai dalam harmoni bersama aroma jagung manis bakar dan dabu-dabu trasi Malesung.
Ada Tina Mansoben dari Biak dan Alfani Mandowen dari Biak Barat, Papua, Alfino Osila Putra dan Kidung Widya Satryaji dari Yogyakarta, Kalvin Toban Palilu dari Rantepao-Toraja, Sulawesi Selatan, Jovindy Darenso dari Talaud, Delvis Zatmiko dari Halmahera Barat, Maluku Utara, dan Steven Taebani dari Tolitoli, Sulawesi Tengah. Hati melompat gembira, mendengar narasi-narasi cinta dan persaudaraan dalam perbedaan.
Kami berbeda tanah kelahiran, beda suku dan budaya, beda organisasi keagamaan, beda latar pendidikan dan kompetensi, beda ideologi, beda pilihan politik, beda gender dan seksualitas, tapi kami bersua di simpang cita-cita kemanusiaan. Visi serasa dalam rindu memandang masa depan bumi tempat berpijak dan manusia yang mendiaminya.
Kami rindu kemerdekaan utuh sang manusia. Duduk sehidangan bersama-Nya dalam ritus syahdu, mengekspresikan keyakinan iman tanpa reaksi miring, teriakan kebencian, intervensi, dan intimidasi mahluk manapun yang merasa lebih mulia.
Malam ini, kami; Pendeta Ruth, Pendeta Steven, Denni, Green, Erny, Riane, Leonard, Edzar, Sian, Rikson, sangat bersukacita. Jendela sedih sedikit terbuka, karena Kidung dan Kalvin akan segera terbang ke Kota Gudeg. Sedikit saja, karena Wale Pukkat yakin masih ada rangkaian jumpa tuk berbagi kisah dan semangat dalam menjaga kemanusiaan.
Sanga Khalik selalu menjaga dan memberkati juang mengecap rindu ๐๐๐ (Rikson)
0 komentar:
Posting Komentar