Menikmati aroma kopi robusta bersama rintik hujan sore di Kaki Lokon, terasa sangat nikmat. Apalagi sambil duduk meresapi aliran pengetahuan dari seorang guru. Namanya, Julianus Mojau. Teman-temannya biasa menyapa akrab, Bung Nus.
Di kalangan intelektual, para teolog, Anak Loloda, Maluku Utara ini sangat dikenal. Apalagi ia pernah menjadi Rektor Universitas Halmahera, pimpinan di Perhimpunan Sekolah-Sekolah Teologi di Indonesia (Persetia). Ketua Umum PGIW Maluku Utara ini juga sudah beberapa periode berada di kursi pimpinan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI).
Saya mengenal Pak Mojau sejak duduk di bangku kuliah Fakultas Teologi, UKIT. Tidak secara langsung, tapi melalui buah pikiran, karya-karya intelektualnya yang terdokumentasi dalam berbagai buku. Di antaranya: Apa itu Teologi, Bersama Sang Hidup, Meniadakan atau Merangkul: Pergulatan Teologis Protestan dengan Islam Politik di Indonesia, Merawat Wajah Keindonesiaan Allah, Teologi Politik Pemberdayaan, dan Religiositas Kekristenan Halmahera.
Saya memulai percakapan dengan sebuah cerita yang baru dialami. Tadi pagi, flayer kegiatan dikirim ke beberapa orang. Seorang kawan dari pulau seberang yang kini mengajar pada sebuah kampus di Sulawesi Utara merespons, "Ngoni orang gunung tertarik so mo bicara soal laut?" Ada juga jawaban dari kawan orang Minahasa yang kini sedang menuntaskan studi program doktoralnya, "Adoh, maaf, Mner. Suka pigi, mar payah lei kwa kita pe pengetahuan soal laut." Mungkin mereka sedikit bergurau (entahlah, soalnya pesan di WA tidak ada nada suara untuk bisa lebih memastikan penilaian itu) saat membalas pesan saya, tapi pernyataan-pernyataan itu seperti jawaban tentang stigma Minahasa "orang gunung saja" benar-benar kuat. Hem ...
Sebagai orang yang lagi belajar menulis, saya tentu sangat excited berbincang dengan Pak Mojau. Percakapan kami terus berlanjut di ruang diskusi Pusat Kajian Kebudayaan Indonesia Timur (Pukkat). Pak Mojau bicara secara khusus topik "Demokrasi Deliberatif Orang Laut". Ia berbagi dengan penuh semangat. Pisau kritisnya masih seperti biasa, tajam.
Di ujung percakapan, kami bersepakat untuk menuangkan ide-ide dalam diskusi ini lebih serius ke dalam sebuah buku. Kita akan difasilitasi oleh Pukkat untuk mewujudkan rindu itu. Tentu akan senang bisa menulis soal "Lour dan Tou Minahasa". 😇 (Rikson)
0 komentar:
Posting Komentar