Sabtu, 31 Agustus 2024

Pilkada Sebagai Praktik Kebudayaan

 


Oleh: Denni H.R. Pinontoan

HINGGA kini, publik, para intelektual, dan para aktivis demokrasi masih mendiskusikan tentang praktek dan fenomena politik uang, politisasi identitas, mobilisasi massa PNS, calon yang dinilai tidak berkualitas, dll di Pemilihan Umum (Pemilu), dan lebih khusus Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Katakanlah, dari segi prosedur tentu semakin hari semakin baik, apalagi jika dibandingkan sebelum era reformasi, tapi praktek dan fenomena “penyakit demokrasi” tersebut, jelas adalah indikator bahwa demokrasi di negara kita ini belum substansial. 

“Penyakit demokrasi” tersebut terjadi dalam sebuah konteks sosio-kultural. Para peserta Pilkada, yaitu partai politik, para pasangan calon, baik yang diusung oleh partai politik, maupun independen berhadapan dengan rakyat pemilih, kemudian tim sukses yang bekerja mempromosikan para calon dengan segala cara adalah anggota masyarakat. Semua pihak ini adalah bagian dari kehidupan sosial-budaya suatu komunitas atau masyarakat. Demikian bahwa praktik dan aktivitas politik elektoral adalah fenomena sosial dan budaya di dalam masyarakat. Dengan kata lain, Pilkada adalah juga fenomena kebudayaan.  

Memilih pemimpin dengan didasari kesadaran dan gagasan tertentu adalah bagian dari sejarah peradaban manusia. Di banyak bangsa besar, pemimpin tertingginya, raja atau kaisar keterpilihannya memang dianggap sebagai peristiwa teologis, sebagai kehendak para dewa atau Tuhan. Tapi, di banyak komunitas pemimpin dipilih oleh anggotanya melalui perwakilannya. Demokrasi modern pada akhirnya menetapkan mekanisme, yaitu pemilihan umum, bahwa setiap individu adalah subjek hukum dan politik. 

Pilkada sesungguhnya melanjutkan tradisi penataan kehidupan sosial, terutama dalam hal memilih pemimpin. Sejak makhluk bernama manusia menemukan cara hidup bersama untuk mengatasi berbagai ancaman kehidupan, sejak saat itulah manusia membutuhkan pemimpin. Tidak mungkin semua anggota komunitas menjadi pemimpin, tidak mungkin pula semuanya adalah anggota. Maka, terbentuklah kesadaran, bahwa satu atau beberapa anggota komunitas dapat dipercaya untuk menjadi pemimpin mereka. Dari proses belajar yang terjadi terus menerus, maka di kemudian hari dirumuskan dan ditetapkan syarat bagi anggota komunitas yang dapat dipilih dan diangkat sebagai pemimpin. Demikianlah sehingga sekarang ini kita mesti menyatakan bahwa praktik memilih pemimpin adalah tindakan kebudayaan masyarakat. 

Dalam pemahaman demikianlah maka mesti pula dikatakan, bahwa Pilkada adalah upaya manusia menata kehidupan bersama yang mestinya bukan sebatas rutinitas politik apalagi mekanisme konstitusional yang hanya menjadi arena bagi parpol dan politisi untuk mempertahankan dan merebut kekuasaan. Tapi, sebagai praktik politik elektoral, kenyataanya Pilkada memang seolah hanya sebagai ajang pertarungan kekuasaan bagi para elit. Rakyat tampaknya hanya menjadi objek kekuasaan. Padahal, selalu diwacanakan, bahwa Pilkada adalah ajang untuk mewujudkan kedaulatan rakyat sebagaimana nilai utama demokrasi. 

Jika Pilkada adalah bagian dari praktik kebudayaan, dan semua yang terkait denganya ada dalam suatu konteks sosio-kultural, maka rakyat pemilih yang hidup dan menghidupi nilai-nilai moral dan kulturalnya mesti menjadi subjek. Pilkada mesti menjadi ajang rakyat dengan nilai pengetahuan, moral dan etika yang dimiliki di dalam komunitas. Rakyat pemilih mesti memproyeksikan dan mengkonstruksikan visi politik dan cara-caranya berdasarkan warisan pengetahuan, moral dan etika komunitasnya dalam mengusahakan Pilkada yang berkualitas, yang pada satu pihak berkaitan dengan prosedur kepemiluan, namun kemudian lebih daripada itu adalah untuk menghasilkan demokrasi yang substansial. 

Pilkada adalah pesta demokrasi rakyat, bukan gelanggang pertarungan para gladiator. Prosedur kepemiluan memfasilitasi dan memastikan hak-hak politik rakyat secara konstitusional. Tapi, yang paling menentukan kualitas hasilnya adalah rakyat pemilih sebagai subjek demokrasi atau sebagai pemilik kedaulatan. Rakyat sebagai ....subjek demokrasi atau sebagai pemilik kedaulatan. Rakyat sebagai subjek demokrasi berarti partisipasinya mestilah berdasarkan kesadaran dan pengetahuan, bukan karena dimobilisasi oleh politik uang dan politisasi identitas. 

Tentu, partisipasi aktif dan kritis ini mesti menjadi kultur demokrasi untuk mengontrol jalannya pemerintahan. Politik transaksional menumpulkan daya kritis rakyat terhadap jalanya pemerintahan, tetapi politik substansial yang aktif dan kritis adalah modal untuk mengontrol kekuasaan yang selalu cenderung korup. (***)

Riane Elean

Author & Editor

""

0 komentar:

Posting Komentar